Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara,
dari orang tua yang teramat sibuk, pagi hingga siang mengajar di sekolah, siang
sampai sore ke sawah, sedangkan malam hari sudah istirahat lebih awal karena
pekerjaan yang sangat padat di siang harinya sehingga waktu untuk bersama
anaknya sangatlah sedikit. Sejak kecil saya sudah diajarkan hidup mandiri,
karena terlalu sering di tinggal, jadi mau tidak mau semua yang saya perlukan
dan butuhkan ya harus dilakukan sendiri. Sejak usia lima bulan, saya sudah jadi
‘anak tetangga’, pagi hari ketika di tinggal ke sekolah saya diasuh tetangga,
hingga menginjak sekolah dasar, saya lebih dekat dengan tetangga daripada orang
tua sendiri. Meski demikian, orang tua masih tetap nomor satu buat saya, tanpa
orang tua saya tidak akan bisa menikmati indahnya ciptaan tuhan berupa dunia
dan seisinya. Segala kebutuhan yang saya butuhkan juga selalu dipenuhi oleh
kedua orang tua saya, orang tua adalah segalanya.
Setelah menamatkan sekolah dasar di
kampung halaman, kedua orang tua saya mengirim saya ke sebuah pesantren di
daerah pantura Paciran, tepatnya pondok pesantren Al-Ishlah di desa
Sendangagung. Pesantren yang dulu dikenal sebagai pesantren yang sangat ketat
peraturannya, keras hukumannya,tapi berkualitas hasilnya, yang membuat kedua
orang tua saya sangat tertarik untuk memasukkan saya ke dalam bagian pesantren
itu, ditambah tetangga saya yang menjadi Guru abdi di sana, hal itu semakin
membuat kedua orang tua semakin yakin untuk memasukkan saya ke dalam pesantren
al ishlah. “sudah disana saja, barangkali besok jadi guru juga disana” itulah
kalimat yang selalu jadi senjata kedua orang tua saya untuk selalu meyakinkan
saya agar mau masuk pesantren, padahal dalam hati memberontak untuk bisa masuk
sekolah negeri.