Tuesday 26 November 2019

Sabda Orang Tua

Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, dari orang tua yang teramat sibuk, pagi hingga siang mengajar di sekolah, siang sampai sore ke sawah, sedangkan malam hari sudah istirahat lebih awal karena pekerjaan yang sangat padat di siang harinya sehingga waktu untuk bersama anaknya sangatlah sedikit. Sejak kecil saya sudah diajarkan hidup mandiri, karena terlalu sering di tinggal, jadi mau tidak mau semua yang saya perlukan dan butuhkan ya harus dilakukan sendiri. Sejak usia lima bulan, saya sudah jadi ‘anak tetangga’, pagi hari ketika di tinggal ke sekolah saya diasuh tetangga, hingga menginjak sekolah dasar, saya lebih dekat dengan tetangga daripada orang tua sendiri. Meski demikian, orang tua masih tetap nomor satu buat saya, tanpa orang tua saya tidak akan bisa menikmati indahnya ciptaan tuhan berupa dunia dan seisinya. Segala kebutuhan yang saya butuhkan juga selalu dipenuhi oleh kedua orang tua saya, orang tua adalah segalanya.
Setelah menamatkan sekolah dasar di kampung halaman, kedua orang tua saya mengirim saya ke sebuah pesantren di daerah pantura Paciran, tepatnya pondok pesantren Al-Ishlah di desa Sendangagung. Pesantren yang dulu dikenal sebagai pesantren yang sangat ketat peraturannya, keras hukumannya,tapi berkualitas hasilnya, yang membuat kedua orang tua saya sangat tertarik untuk memasukkan saya ke dalam bagian pesantren itu, ditambah tetangga saya yang menjadi Guru abdi di sana, hal itu semakin membuat kedua orang tua semakin yakin untuk memasukkan saya ke dalam pesantren al ishlah. “sudah disana saja, barangkali besok jadi guru juga disana” itulah kalimat yang selalu jadi senjata kedua orang tua saya untuk selalu meyakinkan saya agar mau masuk pesantren, padahal dalam hati memberontak untuk bisa masuk sekolah negeri.

           Tiba waktunya untuk masuk pesantren, memasuki dunia baru, teman baru, aktifitas baru, aturan baru, dan semua yang serba baru yang sebelumnya memang tidak pernah terbayang kalau saya akan dimasukkan dalam sebuah pesantren yang sangat banyak aturannya, ini gak boleh itu gak boleh semuanya tidak boleh dilakukan kecuali sesuatu yang sudah ditentukan. Pada awal-awal bulan saya tidak kerasan sehingga sering sakit-sakitan juga, pada akhirnya saya terkena typus bercampur demam berdarah hingga absen sekolah hingga satu bulan lamanya. Keluarga seperti paman dan bibi sudah menyuruh orang tua saya untuk mengeluarkan saja dari pondok, namun orang tua masih bersikeras untuk tetap menaruh saya di pesantren, “gak papa memang belum kerasan, besok kalau sudah kerasan pasti sakitnya hilang” begitu terus jawaban orang tua saya. Setelah sembuh dari sakit, saya kemudian berfikir, “saya gak boleh menyerah dan harus bangkit”,saya tidak boleh kecewain kedua orang tua saya, dan harus tetap bisa jadi kebanggaan kedua orang tua saya. Sejak saat itu saya mulai bangkit untuk mengejar segala ketertinggalan selama saya sakit, hingga akhirnya di tahun kedua saya mendapatkan juara satu di kelas, jadi pengurus OSIS, ketua muhadloroh, dan jadi atlit pilihan untuk lomba pekan olahraga daerah cabang bulutangkis. Ditahun ketiga saya masuk kelas unggulan yang dari dulu saya impikan. Setelah menyelesaikan sekolah menengah pertamaku, orang tua masih berharap besar untuk saya bisa melanjutkan sekolah saya di pesantren. Berharap saya akan mendapatkan universitas pilihan dengan mudah karena dibantu oleh sekolah. Awal masuk madrasah aliyah, saya berkesempatan untuk masuk kelas unggulan yang mana banyak mata pelajaran umum yang disampaikan dengan bahasa Inggris. Berbekal dari situ bahasa Inggris saya mulai terlatih lebih lancar. Tahun kedua saya berkesempatan lagi untuk jadi orang yang dipercaya teman-teman juga para guru untuk menjadi seorang ketua BESMA dan ketua bagian keamanan pusat. Berkat menjadi seorang ketua BESMA saya mendapatkan tiket dari sekolah untuk mengikuti tes beasiswa santri berprestasi dari kementrian agama, beasiswa penuh selama empat tahun, uang saku, dan tunjangan yang lain. Kekuatan doa kedua orang tua saya menghantarkan saya untuk mendapatkan beasiswa itu, saya lolos ke universitas negeri dengan beasiswa penuh dari kementrian agama. Tak ada hentinya saya selalu bersyukur kepada sang pencipta. Beasiswa penuh, namun dengan syarat kembali ke pesantren asal untuk mengamalkan ilmunya, mungkin ini adalah jawaban dari doa-doa kedua orang tua saya sejak awal untuk memasukkan saya ke pesantren supaya saya jadi guru, dan inilah jawabannya, setelah menyelesaikan studi di kampus saya kembali ke pesantren untuk mengabdi.

No comments:

Post a Comment